Senin, 30 April 2012

Biaya Pendidikan Tinggi vs 20% APBN untuk Pendidikan

Sesuai dengan amanat dalam Pasal 49 ayat 1, Undang-Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional  Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran 
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebenarnya dapat kita tarik kesimpulan kasar bahwa cukup banyak dana baik dari pusat maupun daerah yang peruntukannya untuk memajukan dunia pendidikan. Harapan mayoritas dari kita bahwa dengan alokasi dana yang sedemikian banyaknya akan berimplikasi terhadap murahnya biaya pendidikan, dan hilangnya semua pungutan yang membebani orang tua siswa, namun apakah harapan diatas masih relevan atau sudah sama dengan kenyataan di lapangan.

Kenyataan sekarang adalah, biaya pendidikan masih terbilang mahal, masih banyak yang belum melaksanakan pendidikan gratis dengan alasan yang macam-macam. di beberapa kasus (dilakukan oknum-oknum tertentu), masih terdapat praktik pungutan yang dibalut dalam kebijakan yang mengatasnamakan dewan sekolah, ataupun kebijakan dinas pendidikan dan/atau kepala sekolah dengan modus bermacam-macam semisal mewajibkan siswa membeli buku pelajaran, seragam dll (kalau tidak mau dan membeli di luar sekolah akan kena dampak nilai dan/atau prestasi).

Biaya masuk sekolah dan pelaksanaan program belajar mengajar sampai dengan saat ini masih terbilang mahal, dan kondisi inilah yang oleh sebagian masyarakat dimaksud sebagai anomali, jadi uang APBN dan APBD (untuk pendidikan) ini untuk kegiatan apa saja sampai-sampai biaya pendidikan masih mahal juga. Selain itu masih banyak juga sekolah-sekolah utamanya didaerah pelosok dan pinggiran yang kondisinya jauh dari nyaman.  

Kenyataan lainnya bahwa guru dan/atau kepala sekolah khususnya di sekolah dasar yang terpecah konsentrasinya, dari tugas utamanya sebagai pendidik, menjadi kepanjangan tangan pemda dalam rangka penyerapan anggaran pendidikan khususnya dalam hal pembangunan fisik, penyediaan sarana prasarana penunjang belajar mengajar termasuk penyediaan buku-buku sekolah. Selain itu guru dan/atau kepala sekolah juga disibukkan dengan prosedur pembuatan rencana daftar penggunaan anggaran, realisasi pencairan dan terakhir adalah pelaporan atas penyerapan anggaran.

Melihat dari kenyataan diatas dapat disimpulkan bahwa :
  1. Anggaran pendidikan sebesar 20% APBN dan APBD masih belum sesuai harapan masyarakat akan biaya pendidikan gratis.
  2. Anggaran pendidikan sebesar 20% APBN dan APBD menyebabkan guru dan/atau kepala sekolah khususnya SD terpecah konsentrasinya dari yang seharusnya 100% untuk mendidik anak bangsa menjadi terbelah dengan penyerapan anggaran.
  3. Perlu kiranya diperhitungkan kembali (dalam sebuah kajian menyeluruh) seberapa besar persentase yang optimal untuk anggaran pendidikan, dengan harapan apabila persentase itu bisa turun dari total APBD dan/atau APBN maka bisa dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur lainnya yang lebih bermanfaat, daripada terbuang sia-sia dalam bungkus anggaran pendidikan.    

Rabu, 18 April 2012

Masih Relevankah PILKADA Secara Langsung

Sebelum adanya reformasi tahun 1998, di Indonesia hanya mengenal satu sistem yaitu demokrasi pancasila, yang arah haluan demokrasi ala pancasila pada saat itu diintepretasikan dengan menitikberatkan kepada pengelolaan secara sentralistik. Penetapan Kepala Daerah dari tingkat Gubernur hingga Camat ditentukan oleh mekanisme birokrasi yang terpusat, maka tak heran kepala daerah pada saat itu didominasi dari Militer atau dari Birokrat serta tidak wajib dari orang pribumi, sehingga sangat mendukung adanya asimilasi dan akulturasi kebudayaan di NKRI.

Setelah era reformasi dan bergulirnya jaman Otonomi Daerah ini berimbas kepada pengaturan atas pemilihan kepala daerah dari yang semula pemilihan kepala daerah secara tidak langsung menjadi pemilihan kepala daerah secara langsung atau biasa dikenal PILKADA Langsung. Menurut pengamatan kami terhadap pelaksanaan PILKADA Langsung selama 1 (satu) dekade terakhir ini lebih banyak nilai negatifnya jika dibandingkan Penunjukan Langsung Kepala Daerah oleh Pusat.

Beberapa hal yang perlu digarisbawahi kegagalan PILKADA Langsung adalah sebagai berikut :

  1. Efek PILKADA Langsung adalah menimbulkan instabilitas lokal terutama pada saat kubu-kubu yang bersaing didukung oleh massa fanatik yang acap kali menimbulkan kerusakan, korban dan chaos massa. Di beberapa kejadian pasca PILKADA langsung bahkan berakhir dengan perusakan fasilitas umum misalnya kantor kepala daerah, kantor DPRD hingga perusakan terhadap rumah-rumah penduduk pendukung salah satu calon. Efek langsung yang ditimbulkan adalah bertambahnya biaya untuk perbaikan sarana prasara yang dirusak massa, iklim investasi dan ekonomi menjadi terganggu dan munculnya dendam kesumat diantara kubu (memecah persatuan dan kesatuan di dalam masyarakat yang majemuk)
  2. Dana PILKADA Langsung yang cenderung banyak dihambur hamburkan untuk sesuatu yang kurang produktif, misalnya pembuatan spanduk, pembuatan pamflet, dan kegiatan konsumtif lainnya. Setiap tahun Pemerintah Daerah harus menyisihkan pendapatannya untuk persiapan pesta PILKADA Langsung yang dinilai tidak akan dampak signifikan terhadap pembangunan di daerahnya. Kisaran dana pelaksanaan pesta PILKADA langsung yang wajib disediakan Pemerintah Daerah bisa mencapai angka puluhan miliar. Apabila PILKADA langsung dirubah menjadi pemilihan kepala daerah seperti halnya dijaman sebelum reformasi bisa dipastikan akan menghemat dana sangat signifikan dan direalokasikan guna pembangunan saran prasara penunjang pertumbuhan ekonomi dan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
  3. PILKADA Langsung juga diindikasikan menimbulkan efek disintegrasi dan disasimilasi terhadap keutuhan Bangsa Indonesia secara keseluruhan dimana ada fase perpecahan antar kelompok, fase hanya putra daerah dan yang paling dikhawatirkan adalah fase terhadap anti asimilasi dan/atau anti pendatang. Hal ini sangat bertentangan dengan jiwa Pancasila sendiri yaitu Bhineka Tunggal Ika.
  4. PILKADA Langsung juga dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif terhadap norma-norma yang berlaku misalnya saja semakin menjamurnya indikasi money politic atau lebih dikenal dengan serangan fajar dan intimidasi terhadap calon pemilih. Praktek-praktek inilah yang dinilai mencederai arti demokrasi yang sebenarnya dimana persaingan dalam PILKADA Langsung semakin jauh dari arti kata sportivitas.
  5. PILKADA Langsung juga menimbulkan kekhawatiran akan sulitnya dikeloa, dikoordinasi dan diarahkan dikarenakan pemenang PILKADA Langsung secara hierarki tidak lagi dalam satu rantai komando (Pemerintah Pusat - Pemerintah Provinsi - Pemerintah Kabupaten/Kota) dan merasa dia sudah dipilih rakyat secara langsung dan ada kecenderungan untuk tidak tunduk kepada Pimpinan Daerah/Nasional diatasnya semisal Gubernur dan/atau Menteri dan/atau Presiden. Hal ini tercermin dari masih tidak sejalannya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Berdasarkan dari inventarisasi indikasi kegagalan PILKADA Langsung ini, perlu kiranya Pemerintah meninjau ulang pengaturan penetapan Kepala Daerah  berdasarkan PILKADA Langsung dan merevitalisasi pengaturan kembali atas pengangkatan Kepala Daerah berdasarkan penetapan Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Daerah dapat disinergikan dengan pelaksanaan Pemerintahan Pusat.

Senin, 16 April 2012

Mau di bawa ke mana Otonomi Daerah ini

Sudah lebih dari 12 tahun yang lalu kebijakan otonomi daerah berlaku di Indonesia, banyak sekali perubahan drastis dalam tata kelola pemerintahan. Dari yang sebelumnya mengacu kepada pemerintahan dalam satu komando pemerintah pusat berubah 180 derajat menjadi desentralisasi kekuasaan dengan motor penggeraknya adalah pemerintah daerah.

Pro dan Kontra akan tata kelola pemerintahan ini memang sampai sekarang masih hangat mengemuka, terutama dengan banyaknya ketidakpuasan sebagian masyarakat akan ketidakberhasilan pemerintah daerah dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat. Sebagian lagi menyampaikan bahwa otonomi daerah ini menuju arah yang terlalu jauh kebablasan, hal ini diindikasikan dengan masih tergantungnya pemerintah daerah atas pendanaan dari pusat meskipun sebagian besar kewenangan pemerintah pusat sudah di desentralisasikan.

Kenyataan minimnya kreativitas pemerintah daerah untuk memajukan pelayanan terhadap masyarakat ditengah membanjirnya pendanaan dari pusat inilah yang menyebabkan akumulasi kekecewaan masyarakat yang berujung kepada rusaknya stabilitas keamanan di sejumlah daerah. Masyarakat menilai banyak dana di APBD yang hanya dibelanjakan untuk Belanja Pegawai, dan minim untuk belanja publik dan modal. Kondisi semacam inilah yang seharusnya mulai dirubah dengan mulai mengedepankan pembangunan sarana prasara publik, memotong ekonomi biaya tinggi dengan harapan tumbuh berkembang perekonomian di daerah.

Selain itu pemilihan kepala daerah (PILKADA) yang dipilih secara langsung banyak menimbulkan dari sisi pendapatan daerah, dimana dana yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan di daerah habis untuk proses PILKADA, perlu kiranya dikaji ulang tentang PILKADA ini dengan mengubah format dari yang dulu pemilihan langsung dirubah menjadi pemilihan oleh wakil rakyat di DPRD, sehingga memotong ekonomi biaya tinggi dalam PILKADA. Selain itu perlunya rasionalisasi jumlah anggota DPRD di daerah juga akan berdampak kepada efisiensi biaya serta mengurangi kesulitan dalam pelaksanaan musyawarah untuk mufakat dalam rangka pembahasan kebijakan di daerah.

Selain itu yang wajib dipertimbangkan adalah efisiensi perangkat daerah, serta rasionalisasi jumlah PNSD, hal ini juga cukup signifikan dalam menghemat dana di APBD dan dapat digunakan untuk semaksimal kemaslahatan rakyat di daerah. Memang sudah saatnya kita kembali memikirkan kembali sebenarnya mau dibawa kemana Otonomi Daerah ini, jikalau mau di bawa ke arah perbaikan seyogyanya hal-hal yang sifatnya pemborosan dan dis insentif perlu dihilangkan sehingga dana yang bisa diselamatkan tersebut bisa digunakan untuk pembangunan di masyarakat dan mampu menggerakan perekonomian di daerah (sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungan pendanaan dari pemerintah pusat)

Selasa, 10 April 2012

Formula Dana Alokasi Umum Republik Indonesia

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa setelah era tahun 90 an dan menuju tahun milenium baru, Republik Indonesia mengalami perubahan garis kendali pemerintahan yang sangat radikal, dari yang sebelumnya menganut asas dekonsentrasi (semua dikendalikan oleh pusat) menjadi berubah 180 derajat menjadi asas desentralisasi (sebagian besar urusan pemerintahan di daerahkan).

Era Otonomi daerah ini, melahirkan gagasan dalam rangka melaksanakan urusan bersama (pemerintahan) dinilai akan lebih efektif apabila dikerjakan secara bersama sama dengan jalan mendelegasikan sebagian wewenang pemerintahan kepada pemerintah daerah (semi negara federal)
Dalam rangka pendelegasian tugas dan wewenang tersebut, disertai pula pendesentralisasian dana-dana yang selama ini dikelola pusat, diserahkan/dibagihasilkan/dipindahkan dalam bentuk transfer ke daerah.

Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 yang diubah dan disempurnakan menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004, disebutkan bahwa daerah mendapatkan hak pendanaan dari pusat dalam bentuk dana desentralisasi. Adapun dana desentralisasi atau dana transfer ini terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Lebih jauh mengupas tentang DAU, DAU adalah sejumlah dana yang ditransfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui mekanisme APBN, dalam rangka mengurangi horizontal imbalance (ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah)

Formula DAU di desain cukup simple (dengan mengakomodir berbagai masukan baik dari instansi vertikal maupun dari daerah) yang tertuang dalam UU yaitu


DAU = Alokasi Dasar + Celah Fiskal

Alokasi Dasar = Proyeksi Gaji PNS Daerah dalam 1 tahun ditambah kebijakan-kebijakan yang terkait dengan penggajian secara nasional

Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal

Kebutuhan Fiskal = Total Belanja Rata-Rata x (indeks jumlah penduduk + indeks luas wilayah + indeks pembangunan manusia + indeks kemahalan konstruksi + indeks PDRB)

Kapasitas Fiskal = persentase atas PAD dan Dana Bagi Hasil

Alokasi DAU secara Nasional = 90% alokasi untuk Kabupaten/Kota dan 10% untuk Provinsi 

Cara-cara Jitu Keluar dari Krisis Ekonomi

Saat ini dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya sedang sibuk sibuknya menghadapi goncangan dunia yang bernama krisis ekonomi, satu persatu negara di dunia terkena imbas krisis ekonomi global bahkan beberapa diantara nya dalam kondisi kritis (default).

Indonesia sebagai bagian dari ekonomi dunia bukan tidak mungkin akan mengalami pahitnya terkena imbas krisis ekonomi global seperti halnya yang terjadi pada tahun 1997 - 1998. Untuk itu perlu kiranya seluruh elemen masyarakat dan pemerintah bahu membahu menangani akibat dari krisis ekonomi global ini, beberapa cara yang mungkin bisa menjadi referensi adalah sebagai berikut :

  1. pertama dan yang paling utama adalah sinergitas di semua lini, terjalinnya hubungan harmonis antara pemerintah dan masyarakat.
  2. penegakan hukum yang tegas dan bersifat memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran hukum, didukung dengan pelaksanaan hukum yang bersih dan berwibawa
  3. pemerintahan yang berwibawa serta mampu mengatur kehidupan bermasyarakat dalam konsep NKRI harga mati.
  4. pemberlakuan pajak progresif dimana persentase si kaya menanggung lebih banyak kewajiban membayar pajak dibandingkan si miskin.
  5. pemberian subsidi yang tepat sasaran, tepat jumlah dan tepat waktu.
  6. melakukan revitalisasi jiwa patriotisme, kebangsaan dan wawasan nusantara serta meminimalisir pengkotak-kotakan indonesia dalam bentuk suku, agama dan ras.
  7. mulai melakukan ekspansi terhadap ekonomi kerakyatan dan perlu kebijakan yang revolusioner terhadap penguasaan perekonomian yang bersifat berdikari, misalnya memberikan suport yang lebih terhadap produk lokal yang berkualitas untuk substitusi atas barang-barang yang selama ini import 
  8. membuka seluas luasnya bekerjasama dengan perbankan untuk menyediakan rekening khusus yang menampung dana-dana dari masyarakat untuk membantu negara terutama dalam menghapuskan hutang luar negeri
hal-hal lain yang mungkin bisa memberikan suport positif bagi kemajuan bangsa yang berimplikasi terhadap penanganan/persiapan menghadapi pasar global dan krisis ekonomi global